RUBBIKMEDIA.COM, Jakarta – Isu dugaan pencatutan Nomor Induk Kependudukan (NIK) warga DKI Jakarta untuk kepentingan syarat dukungan bakal calon perseorangan, Dharma Pongrekun – Kun Wardhana, semakin hangat diperbincangkan. Kasus ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan menjadi topik utama di berbagai media pemberitaan serta media sosial.
Mengacu pada Pasal 263 ayat 1 dan 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), setiap orang yang membuat atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Selain itu, ancaman pidana yang sama juga berlaku bagi mereka yang dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati jika pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Direktur KBH Pemilu, Jomson Saut Martinus Samosir, S.H., dalam wawancara dengan media menyatakan, Isu dugaan pencatutan NIK warga DKI Jakarta harus ditindaklanjuti oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan membuka posko pengaduan keberatan dan menindaklanjuti rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI dengan melampirkan bukti pencatutan NIK warga yang merasa dirugikan.
Jomson menambahkan bahwa Bawaslu sebagai pengawas pemilu juga harus proaktif dengan membuka posko pengaduan mulai dari tingkat RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota hingga provinsi.
“Mekanisme verifikasi syarat dukungan bakal calon perseorangan dimulai pada tahap verifikasi administrasi dan dilanjutkan ke tahap verifikasi faktual. KPU dan Bawaslu harus bisa berkolaborasi sejak awal untuk mengantisipasi adanya pencatutan NIK warga,” tegasnya.
Menurut Jomson, proses verifikasi faktual dilakukan dengan metode sensus atau door-to-door, yang seharusnya diawasi dengan ketat oleh jajaran Bawaslu.
“Verifikasi dukungan tersebut dilakukan secara tatap muka oleh tim verifikator yang dibentuk oleh KPU dan diawasi oleh jajaran Bawaslu untuk memastikan bahwa syarat dukungan pemberi dukungan calon perseorangan benar-benar sah dan tidak ada pencatutan,” lanjutnya.
Namun, keanehan muncul ketika banyak warga mengaku dicatut namanya meskipun mekanisme verifikasi faktual dilakukan secara door-to-door.
“Ini menimbulkan pertanyaan besar. Apakah metode sensus tidak bertemu langsung dengan warga atau seperti apa? Hal ini perlu diusut tuntas oleh KPU dan Bawaslu,” kata Jomson.
Ia juga mengkhawatirkan kemungkinan pencatutan NIK yang dilakukan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab dengan memperoleh data pribadi warga dari koperasi, pinjaman online, atau leasing. Untuk itu, Jomson menyarankan agar KPU DKI dan Bawaslu DKI berkolaborasi untuk meninjau ulang syarat dukungan dan memvalidasi kebenaran dokumen syarat dukungan demi menjaga integritas proses demokrasi.
“Kita tidak mau Pilkada DKI Tahun 2024 ini curang dan menghasilkan pemimpin yang tidak amanah. Pencatutan ini harus diusut secara tuntas oleh KPU dan Bawaslu sesuai kewenangan masing-masing, dan pelaku yang mencatut harus diberikan sanksi pidana berdasarkan Pasal 263 ayat 1 dan 2 KUHP,” pungkas Jomson.
Dalam akhir wawancara, Jomson mengingatkan pentingnya menjaga demokrasi dan memastikan Pilkada DKI Jakarta berjalan dengan jujur dan adil.
“Kita ingin Pilkada DKI berjalan secara demokratis dan jauh dari kecurangan. Salam demokrasi,” tutupnya.