Sheva Sayyid Imaduddin, Project calegmuda.id | Opini
Belakangan ini sedang ramai menjadi pembicaraan publik mengenai Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023. Aturan tersebut berpotensi mengurangi keterwakilan perempuan di parlemen pada pemilu 2024 mendatang.
Kebijakan afirmasi (affirmative action) terhadap perempuan menjadi agenda reformasi yang selalu di upayakan agar mencapai target 30% dalam berbagai lini politik dan publik. Perjuangan dimulai dari diterbitkan UU No. 12 Tahun 2003 tentang pemilu legislatif yang perlu memperhatikan keterwakilan perempuan 30%, kemudian UU No. 22 Tahun 2007, UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 10 Tahun 2008.
Kini Affirmative action sebesar 30% terhadap keterwakilan perempuan tidak hanya di parlemen, tetapi juga di penyelenggara pemilu dan keanggotaan partai politik.
Bagaimana sejarah perjuangan gerakan kaum perempuan ?
Sejarah perjuangan kaum perempuan dimulai dengan adanya kongres perempuan Indonesia 1 pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta dengan tujuan memperjuangkan hak-hak perempuan terutama dalam bidang pendidikan dan pernikahan.
Pada masa pasca kolonial 1945- 1966 muncul PERWARI (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang terbentuk tanggal 17 Desember 1945. Sewaktu berlangsung perang, kegiatan PERWARI merupakan kegiatan homefront, mengurus dapur umum dan membantu PMI. Setelah perang kemerdekaan reda, PERWARI menggiatkan diri dalam mengisi kemerdekaan dengan memusatkan perhatiannya dalam bidang pendidikan. Ada juga GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) yang aktif di tahun 1950-1960-an.
Gerwani merupakan organisasi independen yang memberikan perhatian pada reformasi sistem hukum di Indonesia untuk membuat wanita dan pria sama di mata hukum termasuk hukum perkawinan, hak-hak buruh, dan nasionalisme Indonesia. Pada skala lokal, Gerwani juga memberikan dukungan individu untuk perempuan yang telah disalahgunakan atau ditinggalkan oleh suami mereka.
Dalam konteks internasional, kesetaraan hak untuk perempuan adalah salah satu prinsip dasar dari PBB. Pada tanggal 18 Desember 1979 Majelis Umum PBB menyetujui sebuah rancangan dari Komisi Kedudukan Perempuan (UN Commission on the Status of Women), yaitu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, selanjutnya disebut CEDAW). CEDAW sering disebut sebagai sebuah International Bill of Rights untuk perempuan.
Gerakan perempuan Indonesia berhasil mendorong pemerintah untuk menyetujui dan meratifikasi konvensi CEDAW. Dengan menerima konvensi tersebut, sesuai dengan ketentuan yang dicantumkan di dalam pasal-pasal Konvensi, negara pihak berkomitmen untuk mengupayakan berbagai tindakan untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan dalam bentuk apapun. Mereka juga harus menyerahkan laporan nasional, sekali dalam setiap empat tahun, sehubungan dengan telah diterimanya kewajiban perjanjian.
Komitmen dan kewajiban negara pihak tersebut meliputi tindakantindakan berikut:
1. Memasukkan prinsip-prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan kedalam sistem perundang-undangan mereka, mencabut semua hukum yang berbau pendiskriminasian dan menjalankan suatu ketentuan yang layak untuk melarang tindakan diskriminasi terhadap perempuan.
2. Mendirikan majelis pengadilan dan lembaga publik lainnya untuk menjamin perlindungan yang efektif bagi perempuan atas tindak diskriminasi; dan
3. Menjamin penghapusan segala bentuk tindakan diskriminasi terhadap perempuan baik yang dilakukan oleh perorangan, organisasi, atau perusahaan.
Bentuk komitmen pemerintah Indonesia terhadap CEDAW adalah dengan terbitnya UU No.7 tahun 1984 yang memiliki konsekuensi mengikat bagi negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi perempuan warganya.
Lalu, mengapa perlu adanya kebijakan afirmasi terhadap perempuan ?
Dalam konteks demokrasi modern sistem yang digunakan adalah demokrasi tidak langsung. Terdapat perwakilan rakyat yang dijalankan oleh para wakil rakyat di parlemen yang bertindak mengatasnamakan rakyat. Kaitannya dengan keterwakilan perempuan diparlemen adalah adanya fakta bahwa penduduk Indonesia lebih dari 50% adalah perempuan tetapi tata kelola pemerintahan sering dikonotasikan oleh kaum laki-laki.
Misalnya, pemimpin identik dengan laki- laki. Hal tersebut memungkinkan terjadinya peluang mengesampingkan perempuan ketika kebijakan yang dihasilkan pemerintah mengabaikan kepentingan kaum perempuan.
Terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab terasingkannya perempuan dalam konteks politik di Indonesia
1. Pemahaman sosial masyarakat menganggap bahwa kedudukan-kedudukan tertentu yang sifatnya politis adalah milik laki-laki. Perempuan di anggap memiliki keterbatasan dalam kegiatan masyarakat yang seolah-olah menjadikan perempuan tidak ideal untuk berpolitik.
2. Konteks sosial di Indonesia yang masih didominasi laki-laki yang mengedepankan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), kekerasan dan perebutan kekuasaan. Akibatnya adalah hancurnya sistem perekonomian dan sosial, ketidakpastian hukum, krisis kepercayaan di antara warga masyarakat dan negara sehingga muncul berbagai konflik di berbagai daerah di Indonesia. Dalam situasi ini hampir tidak ada perempuan yang dilibatkan dalam peran penting pengambilan keputusan.
3. Konteks politik di Indonesia menghasilkan produk politik dan undang-undang yang sangat tidak memihak kepentingan perempuan. Hal ini antara lain disebabkan minimnya jumlah perempuan di lembaga-lembaga formal sehingga tidak ada yang menyuarakan kepentingan kaum perempuan dan terlibat dalam proses pembuatan kebijakan politik.
4. Terdapat anggapan budaya bahwa perempuan sebaiknya di tempatkan dalam lingkut privat bukan publik. Perempuan dikaitkan dengan reproduksi, pemeliharaan anak. Hal tersebut membuat perempuan dikucilkan dalam kehidupan sosial politik dan menjadi kelompok inferior atau kelas dua dibawah laki-laki.
Opini ini sepenuhnya mewakili opini pribadi si penulis dan tidak mewakili redaksi.