Menu

Mode Gelap
Kurangi Penetrasi Pengangguran, Mahasiswa Magister Komunikasi Paramadina Gelar Workshop untuk Anak Muda Depok Apresiasi atas Keberhasilan Mewujudukan Kesetaraan dalam Pendidikan, Nadiem Dipuji Lewat Surat Terbuka Bangkitkan Kekayaan Musik Tradisi Indonesia, Kemendikbudristek Siap Gelar Lokovasia 2024 Kabar Gembira! Mendikbudristek Batalkan Kenaikan UKT Mahasiswa Peringatan Hari Film Nasional ke-74 Tuai Sambutan Positif Masyarakat

Opini · 7 Jun 2023 WIB

Kecacatan Aktualisasi Ilmu Stoisisme Dalam Masyarakat


 Kecacatan Aktualisasi Ilmu Stoisisme Dalam Masyarakat Perbesar

Justyn Kenway Timesmei Manao | Opini

Epictetus, filsuf stoa yang lahir pada masa Yunani Kuno,  pernah berkata melalui salah satu quotes-nya, “Stoics acknowledge that people don’t have control over all, or even much, of what happens in life”.

Beliau menjelaskan bahwa kita sebagai manusia individu tidak memiliki kontrol terhadap segala hal yang berada di alam semesta. Zeno dari Citium, sebagai penemu dari ilmu stoisisme, pernah menjelaskan filosofi stoisisme melalui klaimnya yang sempat tertuang dalam Lives And Opinions Of Eminent Philosophers, sebuah karya oleh Diogenes Laertius, bahwa yang membedakan makhluk hidup antara manusia dan hewan, hewan bergerak dalam menjalani hidup berdasarkan insting secara impulsif.

Sedangkan, manusia bergerak dalam menjalani hidup berdasarkan insting yang disertakan dengan akal budi/alam pikiran. Akal budi menggerakkan manusia untuk berpikir jauh lebih rasional. Oleh karena itu, melalui pandangan filsuf stoa terhadap esensi kebahagiaan, ditolak ukur pada akal budi dalam meraih kebajikan yang didasari pada rasionalitas manusia oleh berpikir dan berkehendak. Dikutip melalui Filosofi Teras, karya Henry Manampiring, menjelaskanbahwa terdapat empat kebajikan/virtues untuk mencapai kehidupan eudamonia/bahagia, diantaranya kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan menahan diri.

1. Kebijaksanaan berarti setiap manusia mampu memberikan jalan keluar yang paling rasional terhadap sebuah masalah.
2. Keadilan berarti setiap manusia secara universal memiliki hak untuk hidup tanpa diintimidasi oleh pengaruh luar.
3. Keberanian berarti setiap manusia mampu menunjukkan kemampuannya dalam melawan berbagai perasaan negatif.
4. Menahan Diri berarti setiap manusia mampu mengontrol dirinya agar tidak terjerumus terhadap sesuatu yang berlebihan/eksesif.

Dalam karya Henry Manampiring, Filosofi Teras, beliau sempat menjelaskan mengenai konsep “Dikotomi Kendali”. Konsep ini pertama kali dikenalkan sebagai salah satu inti dimana terdapat bagian-bagian yang dapat dikontrol atau berada di kekuasaan manusia dan juga terdapat bagian-bagian yang berada di luar kontrol manusia.

Sebagai contoh, ketika kita sedang mempersiapkan diri kita untuk presentasi di depan umum, tentu terdapat rasa kecemasan/gugup, tetapi dengan mempraktikkan dikotomi kendali, kita sadar bahwa yang membuat kita cemas adalah reaksi audiens. Kalau dipikir secara logika, kita sebagai manusia tidak memiliki kekuatan untuk mengatur reaksi audiens dan bagaimanapun juga yang hanya bisa dikontrol adalah bagaimana cara penyampaian kita sebagai subjek presentasi mampu tersampaikan kepada audiens dengan sebaik mungkin.

Dengan demikian, ada semacam kelegaan yang dapat meredakan rasa kegelisahan dan kecemasan dalam diri kita manusia dengan adanya pikiran yang muncul dalam diri kita yang menjelaskan ketidakperluan kita untuk memikirkan orang lain selain diri kita sendiri untuk saat tersebut. Kelegaan tersebut sebagai tanda bahwa kita menurunkan ekspektasi pikiran kita untuk menghadapi sesuatu dalam kehidupan.

Konsep dikotomi kendali tidak jarang kita temukan di dalam berbagai platform media sosial terutama seperti TikTok, Instagram, Twitter, dan lain-lainnya yang pada akhirnya, publik menjadikan konsep ini menjadi sebagai praktik dasar dalam stoisisme.

Sayangnya, konsep dikotomi kendali tidak dapat diaplikasikan terhadap seluruh aspek dalam kehidupan manusia. Mengapa demikian? Apabila stoisisme mengajarkan kepada kita bahwa manusia sebaiknya mengedepankan rasionalitas untuk merendahkan emosionalitas, bukankah secara tidak langsung kita dikontrol oleh rasionalitas itu sendiri? Mari ambil contoh lain yang sedikit lebih ekstrim, ketika ada seseorang terdekat kita yang benar-benar kita cintai, meninggal karena kecelakaan kendaraan di jalan tol dan dinyatakan bahwa jasadnya  telah hancur serta meninggalkan beberapa jejak organ saja.

Apakah konsep dikotomi kendali sebagai “praktik dasar” dapat digunakan untuk mengurangi rasa kesedihan kita? Apakah dengan menganggap kematian adalah sesuatu yang berada di luar kontrol kita, kita menjadi tenang karena rasionalitas kita sendiri? Bukankah kita justru dinilai menjadi individu yang acuh tak acuh? Hal inilah yang menurut saya sebetulnya patut dipertanyakan kembali pada masyarakat mengenai substansi stoisisme yang dianut oleh masyarakat terhadap suatu masalah karena manusia memiliki kompleksitas emosi dan karakter sehingga untuk bisa menghadapi kenyataan,  belum tentu dapat dicerna dengan baik oleh akal budinya. Yang juga ironis adalah bahwa dengan mengabaikan dan menyembunyikan perasaan manusia, secara tidak langsung kita diperbudak oleh sikap rasionalitas itu sendiri.

Hal ini memperlihatkan bahwa kita sebagai manusia dipaksa untuk menjadi selalu tenang dalam menghadapi kenyataan. Narasi dikotomi kendali yang telah sering disebarluaskan dalam masyarakat, mungkin dapat menjadi pemicu yang mampu mendorong kesadaran masyarakat dalam berpikir dan berkehendak jauh lebih logis, tetapi tentu menjadi jalan pikiran yang bahaya apabila tidak disertakan bagaimana kita menghadapi perasaan tersebut.

Tidak semua peristiwa dalam kehidupan kita dapat diselesaikan melalui praktik dikotomi kendali yang seringkali dijadikan patokan dasar dalam stoisisme. Masyarakat publik beranggapan bahwa hanya dikotomi kendali sajalah yang penting di mata mereka. Padahal, saya rasa ada suatu hal yang jauh lebih esensial daripada sekadar memperhatikan apa saja yang dapat dan tidak dapat dikontrol oleh manusia, yaitu salah satunya dengan mengartikan/memaknai emosi diri kita sendiri.

Memaknai bukan berarti hanya melihat apa perasaan negatif tersebut dan langkah apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikannya, tetapi memahami secara mendalam apa yang membuat perasaan negatif tersebut muncul dan kenapa kita harus merasakannya dalam menghadapi masalah tertentu. Dengan ini, secara sadar kita mencoba untuk mengenal sikap dan sifat dalam menjalani suatu proses dalam hidup.

 Saya berpikir bahwa stoisisme sebenarnya bukanlah menjadikan rasionalitas>emosi dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Terlebih, saya berpikir bahwa  keseimbangan antara emosi dan logika jauh lebih substansial. Manusia memiliki perasaan dan pikiran dan selayaknya, setiapnya mampu memanfaatkan sebaik-baiknya.

Oleh karenanya, tidak ada salahnya untuk melihat dan merasakan perasaan negatif seperti menangis, gelisah, marah, dengki, dll. Kita adalah makhluk yang berwujud tidak sempurna, yang mampu jatuh dalam keterpurukan dan bangkit kembali oleh suatu pencerahan. Kalau setiap manusia mampu merasakan rasa ketenangan, sebaiknya pun manusia mampu merasakan rasa kegelisahan.  Akan tetapi, manusia dapat belajar bagaimana menempatkan posisi pikiran dan hati mereka dalam kehidupannya masing-masing.

 Phytagoras berkata, “No man is free who cannot control himself”. Dengan manusia telah mencapai tingkat dimana dia mampu mengenal dirinya, sebenarnya dia telah menjadi dirinya sendiri sepenuhnya tanpa terikat oleh pengaruh-pengaruh luar atau eksternal.

Saya rasa ada berbagai hal yang sebaiknya dibahas lebih mendalam terhadap ilmu dan praktik stoisisme melalui pertukaran pemahaman/pemikiran oleh anak-anak muda terutama pada zaman yang serba media sosial untuk mencapai jalan pikiran yang jauh lebih realistis.

Opini ini sepenuhnya mewakili opini pribadi si penulis dan tidak mewakili redaksi.

Artikel ini telah dibaca 68 kali

badge-check

Redaktur

Baca Lainnya

Kajian Yuridis Hukum Lingkungan Terhadap Permasalahan Pencemaran Yang Terjadi di Sungai Kecamatan Dukupuntang

29 Februari 2024 - 14:41 WIB

Kriminalisasi Seksual Terhadap Jurnalis Perempuan di Indonesia

16 Februari 2024 - 10:54 WIB

Perlindungan Hukum Anak Di Bawah Umur Dalam Tindak Pidana Cyber

16 Februari 2024 - 10:49 WIB

Upaya Pertanggungjawaban dan Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dalam Jaringan Tindak Pidana Peredaran Narkotika

16 Februari 2024 - 10:44 WIB

Bawaslu Wajib Lakukan Pembinaan Jajaran Pengawas Pemilu: Upaya Optimis Tingkatkan Kinerja di Pemilu 2024

26 Januari 2024 - 10:30 WIB

Penilaian Kritis 100 Hari Kepemimpinan: Kecaman Terhadap Langkah Politik Pragmatis PP IPM di Era Politik 2024

19 Januari 2024 - 22:38 WIB

Trending di Opini