Oleh: Fara Winda
Dalam dunia jurnalis yang ‘Male Sentris’ atau banyak di dominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan kaum perempuan, pada akhirnya memunculkan banyak tantangan yang harus dihadapi oleh para perempuan yang berkecimpung di dunia jurnalis. Salah satunya yang masih marak yaitu banyaknya kekerasan seksual yang dihadapi oleh jurnalis perempuan di Indonesia baik kekerasan secara langsung atau melalui media sosial .
Pelecehan seksual atau sexual harassment sendiri adalah perilaku yang yang ditandai dengan adanya komentar-komentar seksual yang tidak pantas atau pendekatan fisik yang berorientasi seksual tanpa adanya consent yang dapat dilakukan ditempat kerja atau situasi kerja dan juga lingkup sosial lainnya ( Ruayidi, Bintari & Wibowo, 2019:75). Salah satu penyebab terus terjadi kasus kekerasan seksual pada perempuan dilatarbelakangi karena masih terdapat factor budaya patriarki di Indonesia. Patriarki adalah budaya atau sistem sosial yang menempatkan laki-laki pada pemegang kekuasaan sentral dan mendominasi daripada perempuan dalam segala aspek kehidupan.
Hal ini tentu berdampak pada banyaknya kecenderungan masyarakat yang menganggap wajar perilaku pelecehan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Sehingga menimbulkan banyaknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi. Hal ini menjadi ironis, karena kasus-kasus kekerasan seksual masih terus terjadi bahkan meningkat setiap tahunnya tanpa memandang profesi apapun. Salah satunya yang terjadi dalam kasus-kasus kekerasan pada para jurnalis perempuan.
Walaupun konstitusi telah mengamanatkan dalam undang-undang mengenai perlindungan terhadap profesi jurnalis. Namun hal ini dirasa belum cukup mengamankan para jurnalis perempuan dari adanya kekerasan seksual. Berdasarkan Riset yang dikeluarkan oleh PR2Media yang dilakukan dengan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) pada tahun 2022 82,06% jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual dalam karir jurnalisnya.
Berbagai bentuk kekerasan yang sering terjadi pada jurnalis perempuan di Indonesia baik daring maupun secara lansung yaitu komentar terkait body shamming, adanya komentar yang mengarah langsung pada perilaku seksual, perilaku catcalling yang dilakukan pada saat bertugas, adanya kiriman pesan yang mengarah pada hal berbau seksual serta adanya paksaan atau ajakan kearah hubungan seksual.
Hal-hal tersebut sudah di pastikan sangat merugikan bagi para jurnalis perempuan. Dalam hal ini seharusnya perusahaan media juga hadir sebagai pelindung dalam memberikan perlindungan bagi para jurnalis perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Namun pada realitanya dilapangan perusahaan media masih minim dalam memberikan perlindungan bagi jurnalis perempuan agar jurnalis perempuan mendapatkan perlindungan hukum.
Fakta dilapangan memperlihatkan belum adanya mekanisme peraturan dari perusahaan media dalam mendampingi pemulihan psikologis bagi korban kekerasan seksual ( jurnalis perempuan ). Hal ini didukung oleh riset yang dilakukan oleh PR2Media dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) yaitu sebanyak 57,2% perusahaan media tidak memiliki standard operasi dalam menangani kasus kekerasan seksual.
Oleh karena itu, penulis dapat memberikan saran berupa rekomendasi kebijakan yang seharusnya menjadi standard bagi perusahaan media maupun negara untuk memberikan perlindungan hukum bagi para jurnalis perempuan dengan beberapa rekomendasi berupa :
- Membuat mekanisme yang tepat guna menangani kasus kekerasan yang terjadi pada para jurnalis perempuan, karena ketika nantinya perusahaan media sendiri tidak mampu menyediakan ruang dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual, maka kemana para korban mengadukan pengaduan dalam mencari pertolongan pertama
- Peraturan atau regulasi khusus mengenai perlindungan bagi para jurnalis perempuan dari berbagai ancaman kekerasan baik langsung maupun daring, karena selama ini belum ada undang undang yang secara khusus untuk melindungi dan sesuai dengan standard mengenai pencegahan, perlindungan, serta penanganan kekerasan. Hal ini juga merupakan bagian dari upaya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bagi para jurnalis perempuan. Adanya undang-undang dan regulasi khusus ini juga agar memberikan payung hukum yang komprehensif untuk menjamin hak-hak bagi jurnalis perempuan, karena peraturan Dewan Pers Tahun 2013 mengenai pedoman Penangan kasus kekerasan pada wartawan masih bersifat umum dan normative. Oleh karena itu perlu adanya regulasi atau peraturan khusus mengenai perlindungan hukum bagi jurnalis perempuan agar dapat menjadi pedoman bagi setiap perusahaan media di Indonesia.