Rian Utama, Mahasiswa UMJ | Opini
Melihat dinamika politik dan demokrasi di Indonesia hari ini, kita dipertontonkan jargon-jargon menarik tentang partisipasi anak muda dalam dunia politik. Kata “milenial” dan “anak muda” menjadi kata-kata yang tidak pernah terlepas dari dominasi jargon partai-partai baru maupun lama.
Anak muda yang mempunyai potensi besar dalam dunia politik kita hari ini. Menurut data BPS, pada 2020, 34% masyarakat Indonesia berusia 20 sampai 40 tahun. Dan, pada 2035, masyarakat Indonesia dengan rentang usia tersebut akan melonjak menjadi 64%. Artinya, mayoritas rakyat Indonesia adalah anak muda.
Presentase anak muda yang mendominasi pemilih Pemilu 2024 nanti membuat kemlompok umur ini menjadi komoditas politik yang paling menjadi target klaim para politisi pada tahun lalu.
Tak hanya itu, antusiasme politik anak muda yang terlihat dari partisipasi Pemilu 2019 dan berbagai sikap kolektif menyikapi kebijakan politik pasca pemilu juga patut diacungi jempol. Mereka berhasil mendobrak mitos tentang generasi muda yang dianggap paling apatis terhadap politik. Antusiasme milenial justru yang paling menggelitik.
Dampak dari dominasi anak muda pada konstelasi politik nasional, tak heran bila jargon-jargon mentereng saling digencarkan untuk mengambil posisi anak muda dalam bersikap untuk memilih atau dipilih dalam kontestasi akbar Pemilu 2024.
Namun pertanyaanya, apakah partai partai yang mempunyai jargon mentereng tersebut telah benar benar bertransformasi dengan cara cara baru atau memanifestasikan anak muda seutuhnya?
Jawabanya jargon-jargon yang merepresentasikan anak muda tersebut justru masih menggunakan cara-cara lama para senior partainya.
Pembaharuan yang ditampilkan oleh partai politik saat ini adalah cita-cita yang ideal namun sangat sulit diwujudkan dalam demokrasi di Indonesia hari ini. Dimulai dari suksesi kepemimpinan dan proses kaderisasi partai cenderung tidak berjalan dengan baik. Partai politik hari ini banyak yang bergantung pada figur-figur tertentu atau yang mempunyai popularitas semata.
Selain itu, konflik di internal partai politik yang tak henti hentinya mewarnai perpecahan. Akibatnya, partai tidak terlalu produktif dalam menampung aspirasi publik, tapi selalu disibukkan dengan konflik internal partai. Sehingga terdapat beberapa partai yang kehilangan kesempatan untuk mengikuti proses demokrasi dalam pemilu.
Ketidak konsistenan partai politik dalam mengaktualisasikan jargon politik menjadi sorotan tajam dan masyarakat akan semakin menjauh bahkan cuek terhadap dinamika perpolitikan dan demokrasi di Indonesia.
Jargon-jargon baru tersebut seakan sebuah kamuflase dan hanya sekedar kampanye tak berisi dalam melancarkan kepentingan partai politik. Mereka menggunakan jargon tersebut dengan cita-cita yang baru untuk kepentingan dan cita-cita yang lama.
Opini ini sepenuhnya mewakili opini pribadi si penulis dan tidak mewakili redaksi.