Oleh Muchtar Taufiq, Founder Pengawal Demokrasi Nusantara (Pendemnus)
Dalam hukum terdapat satu asas yang disebut dengan lex superior derogate legi inferiori. Artinya kurang lebih “bahwa peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hirarki peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi”. Salah satu kebijakan yang menguatkan asas ini yakni Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada Pasal 7 membagi jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan. Yakni: UUD Negara RI Tahun 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/PerPU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/kota. (Garry Fischer Silitonga, 2022).
Mestinya hirarki Peraturan perundangan harus dilaksanakan secara taat asas. Namun dalam praktiknya, tidak selalu demikian. Contohnya PKPU No. 3 tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu 2024. Dalam lampirannya tercantum, Tahapan Kampaye Pemilu dimulai pada tanggal 28 November 2023. Hal tersebut tidak linier atau selaras dengan UU No. 7 Tahun 2023 tentang PerPu No. 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 2017 Tentang pemilihan Umum dan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampaye Pemilu.
Dalam UU 7/2023 dan PKPU 15/2023 dinyatakan bahwa kampaye Pemilu dilaksanakan 25 hari, setelah pengumuman Daftar Calon Tetap untuk Anggota Dewan Kab/Kota, Provinsi dan RI, dan 15 hari setelah di tetapkannya pasangan calon presiden dan wakil persiden. Sesuai dengan pasal 276 ayat (1) UU Pemilu nomor 7 tahun 2023 berbunyi “Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 dan Pasal 275 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf h, dan huruf i, dilaksanakan sejak 25 (dua puluh lima) hari setelah ditetapkan daftar calon tetap anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota untuk Pemilu anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD serta dilaksanakan sejak 15 (lima belas) hari setelah ditetapkan Pasangan Calon untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan dimulainya Masa Tenang”.
Kemudian lampiran PKPU Nomor 3 Tahun 2022 adalah bagian dari peraturan teknis yang tidak bisa dipisahkan, menjadi satu kesatuan hukum yang sah dan mengikat. Namun dalam prinsip asas hukum sendiri PKPU tersebut menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena tidak linier dengan aturan teknis PKPU Nomor 15 tahun 2023 tentang kampaye, apalagi jika di sandingkan dengan UU No. 7 Tahun 2017 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 7 Tahun 2023.
Ketidaksinkronan
Dari aturan tersebut diatas terdapat ketidak singkronan dalam lampiran PKPU tentang tahapan dan jadwal penyelenggaraan yang menyebutkan, bahwa 6 Desember 2022-25 November 2023 jadwal Pencalonan DPD; 24 April 2023-25 November 2023 jadwal Pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dan 19 Oktober 2023-25 November 2023 adalah jadwal Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan 28 November 2023 10 Februari 2024 adalah jadwal masa Kampanye Pemilu.
Pengaturan jadwal tersebut secara terang benderang sangat kontadiktif dengan UU Pemilu dalam Pasal 276 dan PKPU tentang Kampaye Pasal 27 yang mengatur, kampaye calon DPD, DPR sesuai tingkatan dimulai 25 hari sejak daftar calon di tetapkan dan 15 hari untuk kampaye calon presiden dan wakil presiden sejak paslon ditetapkan, mari kita hitung. Jika para Calon dan capres/cawapres ditetapkan di tanggal 25 November 2023 dan kampaye dimulai tanggal 28 November, berarti hanya 3 (tiga) hari spare waktu dari penetapan calon dan paslon ke masa kampaye. Hal tersebut kontadiktif dengan pasal dalam UU Pemilu dan PKPU kampaye bahwa kampaye dimulai 25 hari sejak calon dan paslon di tetapkan.
Dalam segi perspektif hukum sudah jelas bahwa aturan teknis PKPU tentang Jadwal dan Tahapan tidak bisa dijadikan landasan/aturan, dan secara otomatis tidak berlaku atau bahkan cacat hukum. Karena terdapat asas hukum yang dilanggar, dimana aturan teknis yang lebih rendah di bawah undang-undang yang secara hirarki sebagai peraturan lebih tinggi, tidak bisa melamapui-nya dan harus dikesampingkan (ditiadakan/tidak berlaku), atau bahwa hukum yang lebih tinggi tingkatannya didahulukan keberlakuannya daripada hukum yang lebih rendah. Yang perlu diketahui Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu; kejelasan tujuan; kelembagaan; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; efektivitas dan efisiensi; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.
Peraturan perundang-undangan tidak masuk ke dalam kategori opini atau artikel akademis yang sengaja dibuat berdasarkan pendapat atau teori semata. Opini dan artikel tidak bisa di kategorikan sebagai daya paksa atas orang lain untuk berbuat atau untuk tidak berbuat. Sebaliknya, peraturan perundang-undangan adalah dokumen hukum yang memiliki konsekuensi sanksi bagi pihak yang diatur. Peraturan perundang-undangan masuk dalam kategori dokumen politik yang mengandung berbagai kepentingan bagi pihak-pihak yang diatur. Apabila seseorang ingin menyusun peraturan perundang-undangan yang baik, maka seseorang perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk menyusunnya.
Menimbulkan Kebingungan
Penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP) tentu diisi oleh orang-orang yang berkompeten dibidang hukum dan kepemiluan, dengan adanya konflik dalam asas hukum pemilu tersebut seharusnya sudah bisa di identifikasi bahkan dilakukan pencegahan jauh-jauh hari, namun pada kenyataannya sampai hari ini persoalan tersebut belum ada titik pembahasan yang kongkrit, atau bahkan terkesan abai, padahal tahapan kampaye inilah yang selalu menjadi persoalan di setiap pemilu diselenggarakan, ada 11 prinsip penyelenggaraan pemilu dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan yaitu; mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien.
Salah satu prinsipnya adalah berkepastain hukum, yang menegaskan bahwa Penyelenggara Pemilu melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Kepastian hukum ini meliputi aturan main pemilu harus jelas, disusun dengan bahasa yang jelas, tidak multitafsir, tidak saling bertentangan serta tidak tumpang tindih, Kepastian hukum juga bisa diartikan regulasi yang berlaku dalam jangka waktu panjang. Serta mengatur secara lengkap detail dan seluruh aspek yang ada dalam pemilu.
Bagaimana efek dari ketidak singkronan anatar UU Pemilu dengan aturan teknis di bawahnya bisa terjadi? Pastinya akan menimbulkan kebingungan bahkan bisa merugikan para peserta pemilu maupun masyarakat sebagai pemilih, belum lagi polemik maraknya Baliho, Spanduk, pamplet, stiker dan alat peraga sosialisasi lainnya yang telah menjamur di seluruh peloksok negeri, ditambah para peserta pemilu, pejabat daerah dan individu kader parpol yang belum dinyatakan sebagai calon, paslon dan tim kampaye sudah bermain tipis-tipis dan terang-terangan dilapangan, sungguh ironis jika hal ini terus berlanjut tanpa adanya sebuat aturan yang jelas. Jangan menunggu masyarakat meragukan demokratisasi ketika terjadi berbagai persoalan muncul atas nama demokrasi dan seperti memaksakan kehendak sendiri. Sesaat muncul pemikiran, bahwa demokrasi akhirnya sangat bergantung pada persoalan moral bukan?
Kemana Bawaslu?
Bawaslu sebetulnya jauh-jauh hari sudah menyusun yang namanya Indek Kerawanan Pemilu (IKP), dimana Bawaslu telah membagi IKP menjadi empat dimensi, yang salah satunya yaitu dimensi konteks sosial politik yang didalamnya meliputi otoritas penyelenggara pemilu, dan otoritas penyelenggara negara (Buku IKP Pemilu dan Pemilihan 2024. Cetakan pertama, 2023).
Dalam hal ini pemetaan kerawanan pemilu tidak secara detail di petakan dalam hal kerawanan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, padahal sudah kita ketahui bahwa, porsi paling rawan dalam penyelenggaraan pemilu terdapat di lembaga penyelenggara itu sendiri, karena menyangkut otoritas penyelenggara pemilu dan penyelenggara negara yang secara otomatis memproduk berbagai macam aturan perundangan-undangan maupun aturan teknis lainnya, dan secara bersamaan sebagai pelaksana dari produk hukum yang dihasilkan-nya.
Seperti diketahui, dalam penyusunan Peraturan KPU terdapat beberapa tahapan diantaranya perencanaan, penyusunan, uji publik rancangan Peraturan KPU, konsultasi rancangan Peraturan KPU, pengharmonisasian, penetapan, pengundangan dan penyebarluasan. Sedangkan untuk penyusunan Keputusan tahapannya adalah pengusulan, penyusunan, penetapan, pembuatan Salinan Keputusan, pengunggahan dan penyebarluasan, hal tersebut sudah diatur dalam Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2022. Dalam Peraturan ini dijabarkan mengenai tata cara penyusunan Peraturan KPU, Keputusan KPU, Keputusan KPU Provinsi dan Keputusan KPU Kabupaten/Kota. Lalu apakah KPU sudah melaksanakan dan menjalankan-nya? kalaupun sudah, tentu persoalan diatas tidak akan terjadi bukan?
Sedangkan kehadiran Bawaslu dalam penyelenggaraan pemilu sudah sangat jelas diatur dalam UU Pemilu sebagai pengawas di setiap tahapan penyelenggaraan pemilu, dalam pasal 93 UU nomor 7 Tahun 2017 di jelaskan bahwa; Bawaslu bertugas salah satunya yakni; mengawasi persiapan Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri atas; perencanaan dan penetapan jadwal tahapan Pemilu, dalam hal ini peraturan KPU tentang tahapan dan jadwal penyelenggaraan pemilu sebagai objek dari pengawasan dan pencegahan lembaga Bawaslu.
Jangan sampai persoalan ketidak cermatan dan kurangnya kompetensi dari personil Bawaslu dapat menurunkan kepercayaan peserta pemilu dan masyarakat, akselerasi tahapan penyelenggaraan pemilu yang tak terasa semakin berlari cepat, sedangkan Bawaslu sebagai wasitnya masih terlihat berjalan ditempat, masih asyik dalam urusan internal.
Salah satu contohnya yang baru-baru ini terjadi pada tahapan rekruitmen penyelenggara di tingkat provinsi terlebih tingkat kabupaten/kota yang masih menyisakan polemik, banyaknya isu berseliweran di media sosial soal integritas dan tidak profesionalnya Bawaslu, yang dimungkinkan hasil dari proses rekruitmen tersebut menghadirkan penyelenggara yang tidak kompeten dan cenderung di paksakan. Hal tersebut juga menjadi persoalan internal Bawaslu secara subtantif dan memang harus diselesaikan dengan berbagai konsekwensi dan dipertanggung jawabkan secara individu maupun kelembagaan.