Defian Putri Tiara, Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Universitas Terbuka | Opini
Kartel merupakan perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan antar keduanya. Pelarangan adanya kartel ini berkaitan dengan konsep persaingan usaha yang sehat diantara para pelaku usaha. Persaingan usaha dalam dunia usaha dibutuhkan agar satu pengusaha atau satu kelompok usaha tidak mendominasi pasar hingga menyebabkan pelaku usaha tersebut menentukan ketentuan harga pasar, bisa saja jika satu pelaku atau kelompok usaha mendominasi maka dengan sewenang-wenang akan menaikan atau menurunkan harga.
Penjabaran mengenai kartel terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999 Pasal 11 yang melarang dengan jelas adanya perjanjian kartel. Bunyi pasal tersebut yakni
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut suatu usaha dikatakan dapat diindikasikan sebagai perjanjian kartel apabila para pelaku usaha , satu atau lebih melakukan perjanjian kerjasama dengan usaha pesaingnya dengan tujuan agar bisa mendominasi pasar, memengaruhi harga pasar dengan mengatur produksi dan pemasaran sehingga persaingan usaha tidak sehat timbul dan terjadilah monopoli.
Dampak kartel yang dirasakan masyarakat adalah masyarakat sebagai konsumen akan kehilangan pilihan dalam harga dan kualitas produk barang atau jasa dan layanan penjualan yang baik,sehingga mau tidak mau terkadang masyarakat harus terima dengan membayar harga yang lebih mahal. Dampak kartel bagi pemerintah adalah terjadinya inefisiensi sumber daya secara makro dengan adanya deadweight loss. Mengingat dampak yang ditimbulkan dari adanya perjanjian kartel tersebut maka pendekatan yang digunakan untuk melihat terjadinya praktik monopoli dan usaha tidak sehat adalah pendekatan rule of reason pada pasal 11 UU No.5 Tahun 1999.
Namun di negara-negara barat perjanjian kartel dilihat berdasarkan pendekatan per se illegal dikarenakan adanya price fixing dari kartel yang memiliki dampak negatif terhadap harga dan output. Namun UU No.5 Tahun 1999 Pasal 11 tidak menggolongkan kartel sebagai per se illegal karena sifat kartel sendiri tidak stabil, kesepakatan yang dihasilkan belum tentu menciptakan monopoli dan persaingan tidak sehat,sehingga apabila menilai perjanjian kartel maka dilakukan dulu analisa dampak atau rule of reason dari perjanjian kartel tersebut, apakah telah mengakibatkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat atau tidak.
Perjanjian kartel menggunakan salah satu strategi yang diterapkan di antara pelaku usaha yang berasumsi jika produksi mereka di dalam pasar dikurangi sedangkan permintaan terhadap produk mereka di dalam pasar tetap, akan berakibat kepada terkereknya harga ke tingkat yang lebih tinggi. Dan sebaliknya, jika di dalam pasar produk mereka melimpah, sudah barang tentu akan berdampak terhadap penurunan harga produk mereka di pasar. Kartel dapat dilakukan melalui “harga”, “produksi”,dan “wilayah pemasaran”. Tujuannya untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengurangi produk mereka secara signifikan di pasar, sehingga menyebabkan di dalam pasar mengalami kelangkaan, yang mengakibatkan konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih untuk dapat membeli produk pelaku usaha tersebut di pasar. Dengan adanya perjanjian kartel maka biasanya yang timbul adalah terjadinya Kolusi Dalam Penetapan Harga (Collusive pricing) kerja yang dilakukan misalnya secara resmi dengan membentuk kartel.