Menu

Mode Gelap
Kurangi Penetrasi Pengangguran, Mahasiswa Magister Komunikasi Paramadina Gelar Workshop untuk Anak Muda Depok Apresiasi atas Keberhasilan Mewujudukan Kesetaraan dalam Pendidikan, Nadiem Dipuji Lewat Surat Terbuka Bangkitkan Kekayaan Musik Tradisi Indonesia, Kemendikbudristek Siap Gelar Lokovasia 2024 Kabar Gembira! Mendikbudristek Batalkan Kenaikan UKT Mahasiswa Peringatan Hari Film Nasional ke-74 Tuai Sambutan Positif Masyarakat

Opini · 24 Nov 2023 WIB

Tren Bunuh Diri Mahasiswa Di Indonesia


 Tren Bunuh Diri Mahasiswa Di Indonesia Perbesar

M. iqbal jamaluddin, Jurusan Psikologi, UNUSIA Opini

Fenomena bunuh diri di beberapa wilayah di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Seperti penyakit menular, bunuh diri menjadi tren alternatif penyelesaian masalah dalam hidup seseorang. Dengan cara dan latar belakang yang berbeda-beda, bunuh diri dilakukan seseorang untuk mengakhiri hidupnya.

Berbagai kasus bunuh diri menjadi fakta atas kompleksnya persoalan yang dihadapi seseorang. Kasus yang menarik perhatian umum adalah seorang ibu yang terpaksa mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Ia tidak seorang diri melakukan Tindakan bunuh diri, melainkan menyertakan juga anak-anaknya.

Contoh kasus tersebut misalnya: 1. Mahasiswi UNES 10 Oktober 2023 ( melompat dari lantai 4 mall paragon semarang ), 2. Mahasiswi UNIV AIRLANGGA SURABAYA 05 November 2023 ( Meninggal di dalam mobil ), 3. Mahasiswa UGM 8 oktober 2023 ( melompat dari hotel di sleman).

Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa fenomena bunuh diri dilakukan oleh seseorang dengan latar belakang yang berbeda-beda, seperti lemahnya fondasi ekonomi, putus cinta, rasa malu, dan sebagainya, yang mengarah kepada ketidaksiapan atas kondisi yang dialaminya dan tidak tercapainya harapan seseorang.

Sedangkan cara bunuh diri dilakukan secara bermacam-macam, seperti gantung diri, minum racun, terjun ke sumur/sungai/jurang, membakar diri, menyayat nadi, menusuk, dan sebagainya. Cara bunuh diri yang dilakukan seseorang dipengaruhi oleh tingkat ekonomi atau strata sosial yang dimilikinya.

Darmaningtyas dalam penelitiannya (2002: 442-443) menyebutkan bahwa bunuh diri merupakan persoalan mendasar sekaligus merupakan bentuk keputusan eksistensial yang dilakukan seseorang untuk keluar dari persoalannya. Darmaningtyas menggunakan teori Albert Camus yang sesungguhnya melihat fenomena bunuh diri sebagai ungkapan keputusasaan seseorang, dan konsep Emile Durkheim tentang alasan orang melakukan bunuh diri yang tidak lepas keterkaitannya dengan masyarakat.

Bunuh diri berkaitan dengan tiga faktor, yaitu: predisposisi psikologis tertentu, faktor keturunan, dan kecenderungan manusia untuk meniru orang lain. Namun menurut Darmaningtyas, ketiga faktor tersebut kurang memberikan jalan terang, karena faktor tersebut tidak tersebar merata dalam setiap individu dan seluruh golongan, sedangkan ketiga faktor tersebut tersebar secara sama rata.

Penelitian Darmaningtyas juga dipertajam dengan teori Suicide (bunuh diri) Emile Durkheim. Ada empat kategori bunuh diri menurut Durkheim, yaitu: bunuh diri Egoistik, Altruistik, Anomi, dan Fatalistik. Bunuh diri Egoistic, yaitu bunuh diri karena lemahnya individu berintegrasi dengan kelompoknya. Bunuh diri Altruistik, yaitu individu melakukan bunuh diri karena merasa tidak memiliki identitas diri di luar kelompoknya yang disebabkan oleh ikatan kelompok atas individu pembentuk nilai yang terlalu kuat.

Bunuh diri Anomi, yaitu bunuh diri yang terjadi saat adanya gangguan yang tiba-tiba dan tidak terduga, misalkan dalam bidang ekonomi yang secara tiba-tiba mengalami kemajuan atau kemunduran. Kategori yang terakhir adalah bunuh diri fatalistik, yaitu bunuh diri yang disebabkan oleh pengaturan perilaku secara berlebihan, keras, dan otoriter (Darmaningtyas, 2002: 444-445).

Konsep Aristoteles tentang manusia menunjukkan sifat monodualisme atas jiwa dan badan. Jiwa menjadi bentuk dari sesuatu yang lain dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang dapat dilepaskan dari badan. Kehidupan manusia ditandai oleh kesatuan psiko dan fisis. Jiwa dan tubuh adalah satu, dan hubungan keduanya sama halnya dengan hubungan antara materi dan bentuk (Peursen, 1983: 105).

Bunuh Diri dan Sisi Filosofis Antropologis

1.Pengertian Bunuh Diri Bunuh diri adalah tindakan untuk mencabut nyawa diri sendiri dengan menggunakan berbagai macam cara, baik secara langsung maupun secara perlahan-lahan. Bunuh diri juga diartikan sebagai perbuatan untuk menamatkan hidup atau perbuatan mengakhiri penderitaan diri sendiri karena ketidaksanggupan untuk berhadapan dengan sesuatu atau beberapa persoalan yang dianggap tidak dapat ditangani.

2.Berbagai Cara Bunuh Diri Tindakan bunuh diri dilakukan seseorang dengan berbagai cara, yaitu: gantung diri, minum obat tidak sesuai dosis yang dianjurkan, minum racun, memotong urat nadi, terjun dari lantai atas atau jembatan, membakar diri, tembak diri, tabrak diri, dan sebagainya. Cara orang melakukan bunuh diri ini kadang tergantung dari latar belakang si pelaku bunuh diri, meliputi antara lain latar belakang persoalan yang dihadapi, pendidikan, status sosial, dan ekonomi. Namun demikian tidak semua latar belakang ini menunjukkan kepastian cara seseorang melakukan bunuh diri, karena fakta (cara seseorang bunuh diri) dengan latar belakang pribadinya tidak selalu berbanding lurus.

3.Motif Bunuh Diri Setiap tindakan manusia senantiasa dipengaruhi oleh motif yang melatarbelakanginya. Demikian juga dengan orang yang melakukan bunuh diri. Seseorang melakukan tindakan bunuh diri dengan berbagai alasan yang berbeda, misalnya: sakit (kejiwaan, fisik: cacat, patah hati), tekanan (ekonomi, kesedihan), malu (hamil di luar nikah, karena miskin, diejek), kebosanan yang berlebihan, dan sebagainya.

Bunuh Diri dalam Perspektif Filsafat Manusia

Tidak ada individu yang tidak memiliki masalah. Tidak ada individu yang memiliki gaya dan cara mengatasi masalah secara persis sama dengan individu yang lain. Inilah keunikan manusia. Setiap individu akan berusaha mengatasi setiap masalah dalam hidupnya secara beragam, sangat tergantung pada cara menghadapi masalah dan memilih alternatif solusinya.

Persoalannya adalah ketika individu tidak mampu mengatasi persoalan hidupnya sendiri, padahal tidak ada seorang pun yang hidup sendiri, keluar dari sebuah komunitas lalu ia berada dalam kehidupan tanpa komunitas. Setiap individu hidup dalam sosialitasnya. Setiap individu menginginkan jalan keluar atas persoalan yang dihadapinya secara baik. Bahkan individu mengharapkan solusinya adalah yang terbaik menurutnya.

Namun dalam kenyataannya individu tidak selalu melakukan demikian. Bagi individu yang tergolong bertipe optimistik, ia akan selalu memandang persoalan hidup tidak selalu bersumber dari dirinya sendiri, persoalan pasti ada jalan keluarnya, dan ia akan berusaha mencari jalan keluar tersebut. Bagi seseorang yang optimis, persoalan pasti ada batasnya, sehingga mereka tidak perlu berputus asa, optimis akan dapat keluar dari persoalannya tersebut.

Lain halnya dengan individu bertipe pesimistik, menganggap persoalan hidup senantiasa bersumber dari dirinya. Persoalan dianggap bersifat permanen dan akan selalu menjadi masalah dalam hidupnya, sehingga sulit baginya untuk diatasi. Pada individu yang bertipe demikian putus asa mudah melekat dan dapat dengan subur tumbuh rasa ketidakberdayaan.

Inilah kemungkinan kedekatan tindakan bunuh diri bagi orang yang bertipe demikian (Nugroho, 2005). Bagi individu yang terpaksa mengambil keputusan yang dalam pandangan umum merupakan solusi yang tidak baik, misalnya orang melakukan bunuh diri karena mereka tidak mampu menyelesaikan persoalan hidupnya sebagaimana orang lain. Di sinilah filsafat mempunyai peran penting untuk melihat alasan setiap individu dalam pengambilan keputusannya.

Menurut Durkheim, ada empat penyebab individu melakukan bunuh diri dalam masyarakat, yaitu pertama, bunuh diri karena hal-hal yang menyangkut pribadi (egoistic suicide). Seorang individu melakukan tindakan bunuh diri karena tidak punya kecukupan keterikatan dengan kelompok sosial. Ini berakibat pada kurangnya pegangan hidup atas nilai-nilai dalam masyarakatnya. Individu ini sangat kecil memiliki integrasi sosial.

Kedua, bunuh diri karena memperjuangkan orang lain (altruistic suicide). Tipe ini merupakan kebalikan dari tipe pertama. Individu memiliki integrasi sosial yang terlalu kuat, sehingga ia akan kehilangan pandangan atas keberadaan individualitasnya. Pada kondisi tertentu individu akan merasa terdorong untuk berkorban demi kepentingan kelompoknya secara berlebihan tanpa mempertimbangkan kepentingan dirinya sebagai individu. Sebagai contoh tipe ini adalah bom bunuh diri yang dilakukan demi menghancurkan musuh bangsanya.

Ketiga, bunuh diri karena masyarakat dalam kondisi kebingungan (anomic suicide). Bunuh diri tipe ini dilakukan manakala terjadi kekosongan tatanan nilai dan aturan moralitas dalam masyarakat, misalnya kemerosotan kemampuan lembaga tradisional dalam meregulasikan dan memenuhi berbagai kebutuhan sosial, kemerosotan regulasi moral yang berjalan dalam waktu yang lama, dan terjadinya perubahan mendadak pada tingkat mikro sosial sehingga tidak memiliki kemampuan beradaptasi (misalnya tiba-tiba ditinggal suami karena meninggal dunia), dan persoalan domestik seperti pernikahan yang dijadikan lembaga untuk mengatur keseimbangan sarana dan kebutuhan seksual yang dapat menghambat bahkan mengekang kebebasan individu.

Keempat, bunuh diri fatalistik (fatalistic suicide). Bunuh diri dilakukan karena individu tidak mendapatkan perhatian maupun dukungan dari masyarakat, sehingga baginya tindakan bunuh diri merupakan solusi terakhir ketika individu merasa sudah tidak mempunyai alternatif yang lain yang memungkinkan dirinya selamat dan terbebas dari persoalan hidup yang dihadapinya. Tindakan ini dilakukan karena adanya pengaturan secara berlebihan terhadap kehidupan individu, sehingga individu merasa tidak berharga karena dikebiri ruang geraknya. Tipe ini banyak dilakukan individu karena tekanan sosial atau kelompok yang sangat serius.

Bunuh diri juga dilakukan karena hilangnya nilai-nilai baku dalam masyarakat. Misalnya, individu melakukan bunuh diri karena malu yang dirasakannya hanya karena persoalan yang sangat sepele. Hal ini dimungkinkan karena stigma masyarakat yang mulai bergeser, misalnya harga diri dalam masyarakat ditentukan dengan nilai ekonomi, sehingga orang yang tidak memiliki kemampuan secara ekonomi akan terasing.

Filsafat manusia memahami orang lain (individu lain) sebagai partner. Ini merupakan salah satu bentuk kesadaran diri bahwa tidak ada individu yang mutlak dapat mandiri. Persoalan hidup yang dihadapi tidak semata-mata merupakan persoalan pribadi, tetapi perlu disadari bahwa setiap persoalan senantiasa menyangkut orang/keadaan/hal yang lain di luar dirinya. dan cara mengakhiri hidupnya. Pernyataan ini sekali lagi tidak direlevansikan dengan persoalan agama dan Etika.

Artikel ini telah dibaca 248 kali

badge-check

Redaktur

Baca Lainnya

Kajian Yuridis Hukum Lingkungan Terhadap Permasalahan Pencemaran Yang Terjadi di Sungai Kecamatan Dukupuntang

29 Februari 2024 - 14:41 WIB

Kriminalisasi Seksual Terhadap Jurnalis Perempuan di Indonesia

16 Februari 2024 - 10:54 WIB

Perlindungan Hukum Anak Di Bawah Umur Dalam Tindak Pidana Cyber

16 Februari 2024 - 10:49 WIB

Upaya Pertanggungjawaban dan Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dalam Jaringan Tindak Pidana Peredaran Narkotika

16 Februari 2024 - 10:44 WIB

Bawaslu Wajib Lakukan Pembinaan Jajaran Pengawas Pemilu: Upaya Optimis Tingkatkan Kinerja di Pemilu 2024

26 Januari 2024 - 10:30 WIB

Penilaian Kritis 100 Hari Kepemimpinan: Kecaman Terhadap Langkah Politik Pragmatis PP IPM di Era Politik 2024

19 Januari 2024 - 22:38 WIB

Trending di Opini